PPh Pasal 22 Bagian Kedua

10:07 PM Add Comment

Dalam artikel PPh Pasal 22 bagian pertama telah saya uraikan tentang Pemungut dan objek PPh Pasal 22, Tarif PPh Pasal 22, dan transaksi yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, selanjutnya saya akan uraikan tentang Saat Terutang PPh Pasal 22, Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22, Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, dan ketentuan-ketentuan lainnya.

SAAT TERUTANG PPH PASAL 22

1. PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.

2. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen, kertas, baja, dan otomotif, terutang dan dipungut pada saat penjualan.

5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil BBM, gas, dan pelumas,  terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order).

6. PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul, terutang dan dipungut pada saat pembelian.


TATA CARA PENYETORAN PPH PASAL 22 

1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Dirjen Bea dan Cukai ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, Dirjen Bea dan Cukai dan pemungut pajak menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.

2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh bendaharawan dan KPA, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atan nama rekanana serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

3. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, gas, dan pelumas, dan penjualan hasil produksi industri semen, kertas, baja, dan otomotif, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

4. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Catatan:
Pemungut pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak PPh Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
1. lembar kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli / pedagang pengumpul)
2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22) dan
3. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.


TATA CARA PELAPORAN PPH PASAL 22

Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surata Pemberitahuan Masa (SPT Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak, dengan batas waktu pelaporan sesuai dengan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010.


PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH

Sesuai dengan PMK Nomor 253/PMK.03/2008, Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah, wajib memungut PPh Pasal 22 pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Besar PPh Pasal 22 adalah sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM. PPh Pasal 22 tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Barang yang tergolong sangat mewah adalah:
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp. 20.000.000.000,- (Dua Puluh Milyar Rupiah);

2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Milyar Rupiah);

3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Milyar Rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus meter persegi);

4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Milyar Rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);

5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi prupose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.


KETENTUAN LAIN-LAIN

Penyetoran dan pelaporan pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran, dan pelaporan pemungutan pajak.
Penyetoran PPh Pasal 22 dilakukan paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan SSP.
Pelaporan PPh Pasal 22 dilakukan paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22.

Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh bendaharawan dan KPA, penjualan hasil produksi industri semen, kertas, baja, dan otomotif, dan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor, bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembaaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan bagi WP yang dipungut.

Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen bersifat final, sedangkan selain penyalur/agen bersifat tidak final.


Semoga bermanfaat....
Mohon koreksi bila ada salah...

Indahnya berbagi....







Hal-Hal Yang Perlu Diketahui Seputar PPh Pasal 22 Bagian Pertama

9:05 PM Add Comment

Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah bebearapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan :

Pertama,   bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang
Kedua, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
Ketiga, Wajiba Pajak Badan tertentu memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tanggal 31 Agustus 2010.

Berbicara tentang PPh Pasal 22 tidak sefamiliar dan semudah PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mungkin hal tersebut dikarenakan objek, pemungut, maupun tarifnya yang beragam.

Dalam artikel tentang PPh Pasal 22 ini, akan saya bagi menjadi 2 bagian, dimana dalam bagian pertama ini akan coba saya uraikan tentang : Pemungut dan Objek Pajak, Tarif Pajak, Pengecualian Pemungutan Pajak PPh Pasal 22.

Sedangkan dalam bagian kedua saya akan menguraikan tentang : Saat Terutang, Tata Cara Penyetoran, Tata Cara Pelaporan, PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah, dan Ketentuan Lain-Lain.


PEMUNGUT DAN OBJEK PAJAK

Yang dimaksud pemungut pajak dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai, berkenaan dengan impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara Pengeluaran, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung;
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi, berkenaan dengan penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
7. Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM), Agen Pemegang Merk (APM), dan Importir Umum Kendaraan Bermotor, berkenaan dengan penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
8. Produsen atau importir bahan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, berkenaan dengan penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
9. Industri atau ekportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, berkenaan dengan pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

Nah itu teman-teman wajib pajak (yang hurufnya ditulis warna biru) yang mempunyai kewengan untuk memungut PPh Pasal 22, jadi kalau kita melakukan transaksi sama mereka maka atas transaksi tersebut akan dipungut Pajak PPh Pasal 22 oleh mereka, jadi kita wajib meminta bukti potong PPh Pasal 22 nya.


TARIF PPH PASAL 22

A. Atas Impor:
1. barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, sebesar 7,5% dari nilai impor;
2. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas, yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu, sebesar 0,5% dari nilai impor;
3. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas, yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% dari nilai impor; dan/atau
4. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang. 

Catatan:
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight ditambah dengan Bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. 

B. Atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

C. Atas penjualan BBM, BBG, dan Pelumas oleh produsen/importir BBM, BBG, dan Pelumas adalah sebagai berikut :

1. BBM sebesar:
    a) 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
    b) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina;
    c) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada pihak selain dimaksud huruf a) dan b).
2. BBG sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN;
3. Pelumas sebesar 0,3%  dari penjualan tidak termasuk PPN.

D. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi:
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25%;
2. penjualan kertas sebesar 0,1%;
3. penjualan baja sebesar 0,3%;
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45%; 
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 

E. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merk (APM), dan Importir Umum Kendaraan Bermotor sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan PPN.

F. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Catatan:
Besarnya tarif pemungutan diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang memiliki NPWP dan berlaku untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.


DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN PPH PASAL 22  

Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22:
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; 
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN;
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
d. Impor kembali, yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Dirjen Bea dan Cukai;
e. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
f. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Opeasional Sekolah (BOS);
g. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, ATPM, APM, dan industri umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan;
h. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
 1) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
 2)
pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM, dan benda-benda pos.

Catatan:
1. Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk 0%. Pengecualian dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Ketentuan ini dilaksanakan oleh Dirjen Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Dirjen Pajak/Dirjen Bea dan Cukai.

2. Pengecualian atas impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan dan pengecualian atas emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak.

3. Pengecualian atas impor kembali, pembayaran yang dilakukan oleh bendaharawan dan KPA, pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG, dan pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana BOS, dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).

Bersambung...

Semoga dapat membantu...
Mohon koreksi bila ada salah...


Indahnya berbagi...
 
 
 

 

 








Cara Menghitung PPh 21 Untuk PNS, TNI, dan Polri

8:05 PM 2 Comments

Dasar hukum penghitungan pajak penghasilan untuk PNS, TNI, dan Polri adalah UU  Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 Tarif Pemotongan Pemotongan dan Pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN dan APBD, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan Yang Menjadi Beban APBN atau APBD.

Pada dasarnya cara penghitungan PPh 21 untuk PNS, TNI, Polri sama dengan cara menghitung PPh 21 untuk karyawan yang bekerja di perusahaan swasta, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nya dihitung dari Penghasilan Kena Pajak (PKP), adapun PKP didapat dari Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sedangkan Penghasilan Neto didapat dari Penghasilan Bruto dikurangi Biaya Jabatan dan Iuran Pensiun.

Secara garis besar rumus menghitung PPh 21 untuk PNS, TNI, dan Polri sebagai berikut :

Penghasilan Bruto                     xxxxx

Pengurangan :
Biaya Jabatan    xxxxx
Iuran Pensiun    xxxxx
    Jumlah Pengurangan             xxxxx

Penghasilan Neto                         xxxxx

PTKP :
Untuk WP          xxxxx
Tambahan Istri  xxxxx
Tambahan anak xxxxx
    Jumlah PTKP                          xxxxx

Penghasilan Kena Pajak             xxxxx

PPh 21 Terutang :
Tarif Pajak X PKP 

Tarif pemotongan pajak untuk PPh Pasal 21 PNS, TNI, dan Polri sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak. Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak Terakhir, tarif pajak tersebut diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 tahun, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun dikalikan 12 (dua belas);
b. Dalam hal terdapat pembayaran gaji ke-13, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun tersebut adalah jumlah pada huruf a ditambah dengan gaji ke-13.

Sedangkan jumlah PPh pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak selain masa pajak Desember adalah sebagai berikut :
1. Pajak terutang atas jumlah penghasilan pada huruf a di atas dibagi 12 (dua belas);
2. Pajak terutang atas pembayaran gaji ke-13 adalah selisih pajak terutang pada huruf a dengan pajak terutang atas penghasilan pada huruf b.


Contoh :

1. Contoh Penghitungan PPh 21 Untuk PNS, TNI, Polri Yang Bekerja dari Januari s/d Desember
 
 


2. Contoh Penghitungan PPh 21 atas Gaji dan Tunjangan Ke-13
 


 
3. Contoh Penghitungan PPh 21 Terutang Pada Masa Desember
 



Nah itu teman-teman cara menghitung dan contoh penghitungan PPh 21 untuk PNS, TNI, dan Polri terbaru, mudah-mudahan bisa dipahami baik oleh teman-teman yang bekerja sebagai PNS, TNI, ataupun Polri, maupun untuk para Bendahara dari instansi-instansi pemerintah tersebut. Pernah saya menemukan beberapa Bukti Potong (Form 1721 - A2) yang perhitungannya tidak sesuai dengan ketentuannya...

Semoga dapat membantu...
Mohon koreksi bila ada salah...

Indahnya berbagi...

Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK 46)

6:15 AM Add Comment

Pendahuluan

Seperti kita ketahui bahwa tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pemakai laporan keuangan tersebut diantaranya adalah investor, karyawan, kreditor, pemerintah, masyarakat, dll. Sementara itu, tugas akuntan adalah untuk melindungi pemakai laporan keuangan dari kesalahan membaca informasi dalam akuntansi keuangan yang disajikan.

Dalam praktiknya, perusahaan yang merupakan WP Badan harus menghitung penghasilan dengan dua cara yang berbeda. Di satu sisi, akuntan perusahaan harus menyajikan laporan keuangan kepada pemegang saham sesuai dengan PSAK. Sementara itu di sisi lain akuntan juga harus menyajikan laporan keuangan kepada pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak, sesuai dengan ketentuan perpajakan dalam sebuah Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan / SPT Tahunan PPh Badan.

Karena antara PSAK dan ketentuan  perpajakan banyak memiliki perbedaan, penentuan laba akuntansi (Pretax financial income) dan penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable income) juga seringkali menghasilkan perbedaan. Agar laporan keuangan komersil (menurut PSAK) sama dengan laporan keuangan fiskal, maka perlu dibuat rekonsiliasi fiskal.

Berikut saya sajikan ilustrasi penentuan Pajak Penghasilan perusahaan dengan dibuat rekonsiliasi fiskal, sebagai berikut :

Seperti terlihat contoh di atas, terdapat tiga koreksi fiskal terhadap laporan keuangan komersil PT. MMM untuk tahun 2015, diantaranya koreksi terhadap akun Penyusutan Aset Tetap, akun Beban Lain-Lain, dan akun Penghasilan Bunga. Berikut penjelasannya :

Pertama, PT. MMM dalam menyusun laporan keuangannya menerapkan metode penyusutan aset tetap yang berbeda dengan metode penyusutan aset tetap sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, sehingga perlu dilakukan koreksi fiskal.

Kedua, sebagian pengeluaran dalam akun beban lain-lain tidak diakui dalam penentuan laba fiska karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang diterima menurut ketentuan fiskal atau tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha PT. MMM.

Ketiga, penghasilan bunga dikoreksi seluruhnya menurut ketentuan fiskal karena pengenaan PPh nya bersifat final. Artinya PPh yang telah dipotong oleh bank sebagai pemberi penghasilan menurut ketentuan fiskal tidak boleh dijadikan sebagai Uang Muka Pajak atau pun Beban Usaha dalam penghitungan PPh Badan. Dengan demikian penghasilan bunganya pun harus dikeluarkan dari penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Berdasarkan contoh di atas, secara komersial beban PPh yang diakui oleh PT. MMM pada tahun 2015 adalah sebesar Rp. 838.050.000,- sedangkan menurut fiskal Pajak terutang yang harus dilunasi sebesar Rp. 708.988.000,-

Perbedaan pengakuan Pajak Penghasilan menurut standar akuntansi keuangan dan ketentuan perpajakan di atas itulah yang menjadi fokus diterapkannya PSAK 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.


Tujuan dan Ruang Lingkup PSAK 46

PSAK 46 bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Masalah utama dalam perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang untuk hal berikut ini:

a. penyelesaian jumlah tercatat aset (liabilitas) masa depan yang diakui dalam laporan posisi keuangan;
b. transaksi dan  kejadian lain pada periode kini yang diakui dalam laporan keuangan entitas.

Selain itu, PSAK 46 juga mengatur pengakuan aset pajak tangguhan yang timbul dari rugi pajak yang belum dikompensasikan atau kredit pajak yang belum dimanfaatkan, penyajian pajak penghasilan dalam laporan keuangan, dan pengungkapan informasi yang terkait dengan pajak penghasilan.

Nah itu teman-teman pengetahuan pendahuluan tentang Akuntansi Pajak Penghasilan yang perlu teman-teman ketahui, selanjutnya saya akan sharing lanjutannya yang akan membahas tentang Prinsip Dasar PSAK 46, Laba Akuntansi dan Laba Fiskal, Jurnal-jurnal dan Rekonsiliasi Fiskal.

Semoga dapat membantu...
Mohon koreksi bila ada salah...

Indahnya berbagi...