Cara Menghitung PPh 21 Atas Bonus dan THR

9:36 PM 20 Comments
Dalam artikel sebelumnya saya telah nge share tentang cara menghitung dan contoh perhitungan PPh 21 untuk karyawan tetap. Pada umumnya setiap perusahaan yang suka memberikan bonus kepada karyawan bagian pemasaran apabila target penjualannya tercapai, atau juga setiap menjelang hari raya biasanya perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar 1x gaji per bulannya.
Bonus ataupun THR dan penghasilan lainnya yang sejenis itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun yang diberikan kepada pegawai tetap dikategorikan sebagai Penghasilan Tidak Teratur.

 Cara menghitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap dihitung sebagai berikut:
1. Hitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur.
2. Hitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa ditambah penghasilan tidak teratur.
3. Selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan angka 1 dan angka 2 adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur.

Contoh...
Tn. Bagas (TK) bekerja di PT. Anju Jaya Sejahtera dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 5.000.000,- dengan tidak memperoleh tunjangan lainnya. Jabatan Tn. Bagas sebagai supervisor pemasaran. Pada bulan Maret 2015 Tn. Bagas menerima Bonus atas penjualan PT. AJS tahun 2014 yang melampaui target yang telah ditetapkan sebesar Rp. 6.500.000,- dan pada bulan Juni 2015 Tn. Bagas menerima THR sebesar Rp. 5.000.000,- Setiap bulan Tn. Bagas membayar Iuran pensiun sebesar Rp. 100.000,-
Hitung PPh 21 Tn Bagas untuk bulan Maret dan bulan Juni!!

Jawab
A. PPh 21 Bonus
1. PPh Pasal 21 Gaji & Bonus
 Penghasilan
Gaji Per Tahun (Rp. 5.000.000 x 12)   Rp. 60.000.000,-                                                
Bonus                                                    Rp.   6.500.000,-
                Penghasilan Bruto Setahun   Rp. 66.500.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan            Rp. 3.325.000,- ----------------------------------> 5% x 66.500.000
Iuran Pensiun            Rp. 1.200.000,- ----------------------------------> 12 x 100.000
                 Jumlah Pengurangan            Rp.   4.525.000,-
                 Penghasilan Neto Setahun   Rp. 61.975.000,-

PTKP:
Untuk WP Sendiri                                 Rp. 24.300.000,-

                Penghasilan Kena Pajak        Rp. 37.675.000,-

PPh Pasal 21 Terutang (5% x Rp. 37.675.000,-)       Rp.   1.883.750,-


2. PPh Pasal 21 Gaji

Gaji Per Tahun (Rp. 5.000.000 x 12)   Rp. 60.000.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan             Rp. 3.000.000,- --------------------------------> 5% x 60.000.000
Iuran Pensiun             Rp. 1.200.000,- -------------------------------->  12 x 100.000
                 Jumlah Pengurangan           Rp.   4.200.000,-
                 Penghasilan Neto Setahun   Rp. 55.800.000,-
PTKP:
Untuk WP Sendiri                                Rp. 24.300.000,-
      Penghasilan Kena Pajak                 Rp. 31.500.000,-

PPh Pasal 21 Terutang (5% x Rp. 31.500.000,-)       Rp.   1.575.000,-

 
3. PPh Pasal 21 Bonus

PPh Pasal 21 Gaji & Bonus     Rp. 1.883.750,-
PPh Pasal 21 Gaji                    Rp. 1.575.000,-
   PPh Pasal 21 atas Bonus   Rp.    308.750,-




B. PPh 21 THR


1. PPh Pasal 21 Gaji & THR
 Penghasilan
Gaji Per Tahun (Rp. 5.000.000 x 12)   Rp. 60.000.000,-                                                
THR                                                      Rp.   5.000.000,-
                Penghasilan Bruto Setahun  Rp.  65.000.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan              Rp. 3.250.000,- -------------------------------> 5% x 65.000.000
Iuran Pensiun              Rp. 1.200.000,- -------------------------------> 12 x 100.000
                 Jumlah Pengurangan            Rp.   4.450.000,-
                 Penghasilan Neto Setahun   Rp. 60.550.000,-

PTKP:
Untuk WP Sendiri                                 Rp. 24.300.000,-

                Penghasilan Kena Pajak        Rp. 36.250.000,-

PPh Pasal 21 Terutang (5% x Rp. 36.250.000,-)       Rp.   1.812.500,-


2. PPh Pasal 21 Gaji

Gaji Per Tahun (Rp. 5.000.000 x 12)    Rp. 60.000.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan               Rp. 3.000.000,- -----------------------------> 5% x 60.000.000
Iuran Pensiun               Rp. 1.200.000,- ----------------------------->  12 x 100.000
                 Jumlah Pengurangan            Rp.   4.200.000,-
                 Penghasilan Neto Setahun   Rp. 55.800.000,-
PTKP:
Untuk WP Sendiri                                Rp. 24.300.000,-
      Penghasilan Kena Pajak                 Rp. 31.500.000,-

PPh Pasal 21 Terutang (5% x Rp. 31.500.000,-)      Rp.   1.575.000,-

 
3. PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh Pasal 21 Gaji & Bonus     Rp. 1.812.500,-
PPh Pasal 21 Gaji                     Rp. 1.575.000,-
   PPh Pasal 21 atas Bonus     Rp.    237.500,-


Indahnya Berbagi..

Sekian yang bisa saya share..
Mohon koreksi bila ada salah..
Semoga membantu.. 










Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 163/PMK.03/2012

8:05 PM Add Comment
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 163/PMK.03/2012

TENTANG

BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu mengatur kembali batasan dan tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;
b. bahwa untuk lebih menjamin rasa keadilan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, berdasarkan ketentuan Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);


 MEMUTUSKAN

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

Pasal 1


 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
2. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
3. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Pasal 2


(1) Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi
atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
(3) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
(4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Pasal 3


(1) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Pasal 4

(1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.
(2) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
(3) Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah ditempat bangunan tersebut didirikan.

Pasal 5


Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.

Pasal 6


(1) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri :
     a. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau
     b. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap,
 jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7


(1) Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
(2) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
(4) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. kolom NPWP diisi dengan :
    1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
    2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
    3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang  melakukan kegiatan membangun sendiri.
(5) Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. kolom NPWP diisi dengan :
   1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
   2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
   3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

Pasal 8


(1) Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
(2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(3) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

Pasal 9

(1) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak  terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.
(4) Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri.
(5) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 10

Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.

Pasal 11

Tata cara penetapan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 12

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku :
1. kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan belum selesai pembangunannya pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, termasuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 22 Oktober 2012

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO



Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 22 Oktober 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1036



Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS)

7:44 PM 1 Comment
Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal ataupun tempat untuk menjalankan usahanya, orang akan memenuhinya dengan cara membeli atau membangun sendiri. Untuk orang atau badan usaha yang mendirikan bangunan dengan jalan membangun sendiri, selain harus memperhitungkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan yang meliputi biaya bahan dan biaya upah perlu diperhitungkan juga aspek perpajakannya.

Mungkin sebagian orang bertanya, kenapa kita harus membayar pajak kalau kita membangun sendiri rumah atau tempat usaha kita, tanah yang akan dibangun tanah miliki kita, uang yang akan dikeluarkan juga uang kita, trus ketika kita membeli bahan-bahan juga pasti sudah termasuk PPN nya, lalu kenapa harus membayar pajak lagi?? mungkin banyak juga diantara teman-teman yang memiliki pertanyaan yang sama, termasuk saya juga memiliki pertanyaan yang sama.

Jawaban yang bisa saya kemukakan disini atas pertanyaan di atas karena Undang-undang atau peraturan mengamanatkan demikian.

Dasar hukum yang mengatur pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri.

Beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membagun Sendiri (PPN KMS) ini, diantaranya:
1. Bangunan yang dimaksud dalam PMK ini beruapa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan, dengan kriteria sebagai berikut:
    a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
    b. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
    c. Luas keseluruhan paling sedikit 200M2 (dua ratus meter persegi).
2. Tarif PPN KMS adalah 10% dari DPP.
3. DPP dalam PPN KMS ini sebesar 20% dari Jumlah biaya yang dikeluarkan, tidak termasuk pembelian tanah.
4. PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri ini dihitung dengan cara Tarif x DPP x Jumlah Pengeluaran (10% x 20% x Jumlah Pengeluaran).
5. Batas waktu penyetoran PPN terutang atas KMS ini paling lama tanggal 15 bulan berikutnya.
6. Penyetoran PPN KMS dilakukan dengan menggunakan SSP dengan Mata Akun Penerimaan : 411211 dan Kode Jenis Setoran : 103
7. Batas waktu pelaporan PPN KMS ini paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
8. Cara pengisian kolom NPWP dalam SSP dimana alamat bangunan yang didirikan tersebut sama dengan alamat OP dan Badan yang membangun tersebut berada (misal alamat OP/Badan di Garut, dan bangunan yang dibangunnya juga di Garut), maka kolom NPWP dalam SSP diisi dengan NPWP milik OP atau Badan tersebut.
9. Sedangkan apabila alamat bangunan yang dibangun tersebut berbeda dengan alamat OP atau Badan yang membangunnya (misal alamat OP/Badan di Garut, dan mendirikan bangunan di Tasikmalaya), maka kolom NPWP dalam SSP diisi dengan cara:
    a. 9 digit pertama diisi angka 0 (nol)
    b. 3 digit selanjutnya diisi kode KPP tempat bangunan itu didirikan (dalam contoh di atas KPP Tasikmalaya, kode KPP nya 425)
    c. 3 digit terakhir diisi dengan angka 0 (nol)
    d. Pada kolom "wajib pajak/penyetor" diisi nama dan NPWP OP / Badan yang melakukan KMS
10. Bila OP / Badan yang melakukan KMS tersebut belum memilik NPWP, maka pengisian kolom NPWP dalam SSP dilakukan sama dengan point 9 huruf a, b, c, di atas, kecuali untuk huruf d diisi dengan nama dan alamat OP / Badan tersebut berada.
11. Pajak masukan yang didapat oleh OP / Badan yang melakukan KMS tidak dapat dikreditkan.
12. Untuk OP / Badan yang telah dikukuhkan sebagai PKP, pembayaran PPN KMS ini dilaporkan dalam SPT masa bulan terjadinya pembayaran.
13. Untuk OP / Badan yang belum dikukuhkan sebagai PKP, pembayarn PPN KMS ini dilaporkan dengan menggunakan SSP lembar ke 3.

Contoh Perhitungan PPN KMS:
Nama WP  : Ny. Anita
Alamat       : Jl. A Yani 65 Garut
NPWP      : 72.799.843.7-443.000
Pada bulan April 2015 melakukan pembelian tanah seluas 240M2 (240 Meter Persegi) dengan harga Rp. 600.000.000,- pada bulan yang sama Ny Anita langsung membangun rumah di tanah tersebut dengan rencana rumah yang akan dibangun seluas 300M2 (300 Meter Persegi), pada bulan april biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan-bahan sebesar Rp. 120.000.000,- dan untuk biaya upah sebesar Rp. 10.000.000,- Berapakan Pajak terutang atas PPN KMS yang harus dibayar oleh Ny. Anita??

Besarnya Pajak Terutang atas PPN KMS masa April adalah sebagai berikut:
Biaya Bahan                                                     Rp. 120.000.000,-
Biaya Upah                                                      Rp.   10.000.000,-
    Jumlah biaya yang dikeluarkan                      Rp. 130.000.000,-

PPN Terutang = 10% x 20% x Rp. 130.000.000,-
                      = Rp. 2.600.000,-   
Ket:
Pengeluaran untuk pembelian tanah sebesar Rp. 600.000.000,- tidak dimasukan dalam perhitungan karena bukan Dasar Perhitungan PPN KMS.

Berdasarkan perhitungan di atas, maka Ny. Anita harus membayarkan pajak terutang sebesar Rp. 2.600.000,- ke Kantor Pos atau Bank Persepsi lainnya paling lama tanggal 15 bulan Mei 2015 dan melaporkan pembayaran PPN KMS tersebut ke KPP Garut dengan menggunakan lembar ke 3 SSP.

Sekian yang bisa saya sharing kepada teman-teman tentang PPN KMS...
Mohon dikoreksi bila ada salah...
Semoga Bermanfaat..

Peraturan Pemerintah Nomo 46 Tahun 2013

10:30 PM Add Comment
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini mulai berlaku efektif tanggal 1 Juli 2013, PP ini mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Untuk salinan Peraturan & Penjelasannya silahkan teman-teman googling aja.

Awal mula diberlakukannya peraturan ini banyak pegiat dibidang perpajakan dibuat bingung, termasuk saya sendiri, selain karena sosialisasi yang kurang dari Dirjen Pajak, penerapannya yang di pertengahan tahun, dan belum adanya juklak dan juknisnya. Namun setelah beberapa waktu berjalan dan seiring dengan banyaknya penjelasan dan sosialisasi oleh Dirjen Pajak termasuk telah keluarnya peraturan yang memperjelas PP ini, pelaksanaan dari PP ini sudah bisa dijalankan dengan lebih jelas.

Beberapa point penting yang ada dalam PP ini yang perlu kita ketahui, diantaranya:

Pertama, Pertimbangan diterbitkannya PP ini untuk mempermudah Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan dalam menghitung, menyetor dan melaporkan pajak penghasilan yang terutangnya.

Kedua, PP ini berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Ketiga, Yang dimaksud peredaran bruto tertentu adalah WP OP dan WP Badan tidak termasuk BUT yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Keempat, Yang tidak terkena PP ini bila:
Wajib Pajak Orang Pribadi, melakukan kegiatan usaha perdagangan / jasa yang:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan.


Wajib Pajak Badan, 
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).


Kelima,  Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final yang dimaksud dalam PP ini adalah sebesar 1%.

Keenam,  Dasar pengenaan pajak untuk menghitung pajak penghasilan menurut PP ini adalah peredaran bruto setiap bulan.

Ketujuh, PPh terutang dihitung dengan mengkalikan tarif dengan DPP / Peredaran bruto tiap bulan. 

Demikian beberapa point penting yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini, untuk teman-teman yang akan membaca dan mempelajari lebih lengkap bisa membaca langsung dari Lembaran PP nya yang telah saya sediakan link downloadnya di atas.

Semoga dapat membantu....

Indahnya berbagi....  













 

Peraturan Direktoran Jenderal Pajak Nomor : PER-31/PJ/2012 Beserta Lampirannya

9:49 PM Add Comment
Peraturan Dirjen Pajak Nomor : Per-31/PJ/2012 ini mengatur tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 21 dan/atau PPh 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Dalam Peraturan DJP ini mengatur secara teknis dan mendetail definisi, subjek, dan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26, sedangkan dalam lampirannya pada bagian pertama memuat tentang petunjuk umum penghitungan dan pada bagian kedua memuat tentang contoh penghitungan PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26.

Untuk salinan Peraturan DJP Nomor : Per-31/PJ/2012 dan juga lampiran Per DJP nya silahkan teman-teman googling aja.

Point - point penting / intisari yang termaktub dalam PER DJP Nomor PER - 31/PJ/2012 ini diantaranya :

Pertama, Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, diantaranya:
    1. Pemberi kerja baik orang pribadi maupun badan;
    2. Bendaharan atau pemegang kas pemerintah;
    3. Dana Pensiun, BPJS dan badan lain yang membayar uang pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua secara berkala;
    4. OP yang melakukan kegiatan usaha / pekerjaan bebas dan badan yang membayar honorarium, fee, komisi dan pembayaran lain sehubungan dengan jasa yang telah diberikan;
    5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional.

Kedua, Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, diantaranya:
    1. Pegawai;
    2. Penerima uang pesangon, pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua termasuk ahli warisnya;
    3. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, seperti akuntan, dokter, notaris, dll;
    4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
    5. Mantan pegawai;
    6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan;

Ketiga, Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, diantaranya:
    1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
    2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
   3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
   4. Penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
   5. Imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;
   6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
   7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
   8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
   9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Keempat, Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, diantaranya:
A. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
     a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
        1. Pegawai Tetap;
        2. penerima pensiun berkala;
        3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
       4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

    b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);

    c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;

    d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.

B. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21 adalah jumlah penghasilan bruto.

Kelima, Yang dimaksud penghasilan bruto adalah seluruh jumlah penghasilan 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.

Keenam, Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditetapkan sebagai berikut:
a. bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c. bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.

Ketujuh, Besaran PTKP per tahun sebagai berikut:
a. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Besaran PTKP dalam peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Kedelapan, Tarif Pemotongan Pajak
A. Tarif PPh Pasal 21 sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang - Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
B. Tarif PPh Pasal 26 adalah 20% dan bersifat final.
C. Untuk penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20%. 

Kesembilan, Saat terutang PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
A. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
B. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
C. Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada point B adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

Demikian intisari / point penting yang ada dalam PER DJP Nomor PER-31/PJ/2012 ini, untuk lebih memahami pedoman teknis pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 21 dan/atau PPh 26 teman-teman bisa membaca dan mempelajari langsung dari Peraturannya..

Semoga dapat membantu....
Mohon koreksi bila ada salah

Indahnya berbagi...